Konsep Ikhlas dalam Dimensi yang Maha Luas

Kata “ikhlas” memang sering diucap, hingga menjadi klise (membosankan) bagi sebagian orang. Tapi bagaimanapun, sikap ikhlas punya peranan yang amat penting di ranah pendidikan modern.  

Dalam konsep pendidikan modern ala barat, kita semua mengenal istilah Intelligences Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ) sebagai varian kecerdasan seorang manusia.

Dalam bahasa yang lebih mudah dipahami, tiga varian kecerdasan itu meliputi; IQ (kecerdasan intelektual), EQ (kecerdasan mengelola emosi) dan SQ (kecerdasan spiritual).

Sayangnya, di semua sekolah formal di Indonesia, yang jadi indikator kecerdasan seorang anak hanya Intelligences Quotient (IQ) saja. Padahal di negara maju, konsep IQ sudah ditinggal dan tak jadi indikator utama. Mayoritas sudah bergeser pada EQ dan SQ.

Di dunia pendidikan kita, kecerdasan seorang siswa selalu diukur dengan faktor tunggal serba mencakup (an overall single factor) atau IQ saja. Sehingga ada kesan, mereka yang ber-IQ rendah, akan selalu gagal dalam hidup. Padahal ini salah besar.

Meski IQ (di dunia pendidikan kita) selalu jadi indikator utama, sesungguhnya ia adalah kecerdasan paling lemah dan dasar, jika dibanding EQ maupun SQ. Alasannya sangat sederhana. IQ fokus pada kemampuan otak. Sementara kemampuan otak manusia amat terbatas.

Kapasitas otak manusia sangatlah terbatas. Sehebat dan secerdas dan sejenius apapun seorang siswa, dalam kasus tertentu, akan mengalami momen gagal. Dan saat menemui kegagalan, mereka yang dominan menggunakan IQ, paling rentan kecewa dan putus asa.

Di sini pentingnya Emotional Quotient (EQ) atau kecerdasan emosi sebagai penyeimbang kondisi psikologis seorang siswa. Mereka yang dominan menggunakan EQ, tak akan mudah putus asa meski kerap ditabrak gagal dan rasa kecewa.

Kecerdasan emosi berkaitan dengan kemampuan mengelola emosi dan kemampuan berempati terhadap orang lain.  Mereka yang punya kecerdasan emosi bisa ditandai dengan; bermental dewasa, bijaksana, tidak egois dan suka mengalah. Mereka juga lebih fleksibel dan tak gampang putus asa.

Selanjutnya, Spiritual Quotient (SQ) atau kecerdasan SQ. Ini jadi pelengkap dari kecerdasan emosi (EQ). Jika EQ menuntun kita mengelola emosi, SQ mengajak kita merasa tenteram dan bahagia (terlepas apapun yang terjadi) karena memiliki Allah Swt.

Kecerdasan SQ merupakan kecerdasan ruhani. Atau kecerdasan yang berhubungan dengan kedekatan pada Tuhan. Jika EQ terkait perasaan, SQ bersifat reflektif dan permenungan.

Bukan berarti IQ tidak penting. IQ tetap penting, tapi pentingnya IQ jangan sampai menghilangkan peran EQ dan SQ. Justru, kalau bisa, ketiga peran itu diseimbangkan.

Dalam risalah singkat ini, admin hanya ingin menunjukan bahwa sesungguhnya, tiga konsep kecerdasan ala barat modern (IQ, EQ dan SQ) di atas, hanyalah bagian kecil dari konsep ikhlas yang sudah kita pelajari sejak kecil.

Ilustrasinya begini: saat seseorang mengalami kegagalan dalam meraih prestasi (IQ), dia akan berusaha mengelola emosi agar tidak bersedih dan putus asa (EQ). Setelah itu, hatinya bisa merasa tenteram karena sadar bahwa segala hal di dunia ini, sudah diatur Allah Swt (SQ).

Nah, sampai di sini, kita sudah tahu kan, bahwa sesungguhnya, peran dan fungsi 3 varian kecerdasan barat modern itu, bermuara pada sikap ikhlas. Mereka yang mengenal ikhlas, sesungguhnya telah menguasai IQ, EQ, dan SQ sekaligus.

Sayangnya, ikhlas tidak pernah mudah. Mengerjakan sesuatu yang tak pernah kita kehendaki, misalnya. Apakah kita bisa melakukannya dengan mudah? Tentu tidak. Ini alasan kenapa kita harus mengajarkan konsep ikhlas sejak kecil.

Konsep ikhlas memang harus diajarkan pada anak sekolah dasar dan menengah. Alasannya, dengan mengenali konsep ikhlas, secara tak langsung, mereka juga belajar tentang IQ, EQ dan SQ.

Ini bukti betapa pentingnya sikap ikhlas di dunia pendidikan modern. Tanpa sikap ikhlas, dunia pendidikan hanya akan jadi panggung lomba Agustusan dan tak pernah mengenal arti pengorbanan.

Nriman, Syukur dan Sabar

Tiap kali berurusan dengan masalah yang melibatkan keikhlasan, admin selalu ingat pesan Kiai admin. Dulu, Kiai admin sering berpesan pada admin tentang nriman, syukur, dan sabar. Tiga hal itu merupakan wujud lain dari “sikap ikhlas”.

“Nriman, syukur, sabar; tulung telung perkoro iki dicekeli tenanan.” Begitu kata Kiai admin, tiap kali admin selesai mengaji.

Sesulit apapun kondisi yang dihadapi, kata Kiai, nriman, syukur dan sabar harus dibawa sebagai bekal hidup. Sebab, hidup di zaman apapun, tiga hal di atas adalah perisai sekaligus suluh penenteram bagi tiap langkah manusia, agar tak mudah terbakar rasa kecewa.

Penjelasannya begini: 

Nriman: menerima apapun kondisi yang ditakdirkan pada kita. Sekuat apapun kita menolak, jika memang sudah ditakdirkan, toh tetap saja harus dijalani. Justru, dengan bersikap nriman, ada potensi kondisinya berubah. Misal, semula yang tak menyenangkan, berubah jadi membahagiakan.

Syukur: mensyukuri pemberian Allah, bahkan jika pemberian itu awalnya tak pernah kita sukai. Sebab bisa jadi, berkat rasa syukur pada Allah, apa yang saat ini kita benci, kelak berubah menjadi sesuatu yang amat sangat kita cintai.

Sabar: bertahan dalam situasi yang sulit untuk ikhlas, tapi tidak boleh mengeluh. Ini memang sulit. Tapi dengan bertahan dan tidak mengeluh, siapa tahu, yang awalnya sulit dan tidak pernah kita inginkan, kelak jadi sesuatu yang amat kita idam-idamkan.

Dengan bersikap nriman, syukur dan sabar, sesungguhnya kita sedang meyakini bahwa Allah maha membolak-balikkan hati sekaligus maha memberi kejutan kelak di kemudian hari. Bukankah diam-diam kita sering menanti kejutan membahagiakan dari Tuhan?

Nriman, Syukur dan Sabar adalah bekal utama dalam menjalani sesuatu yang di dunia modern, kerap disebut Dedikasi. Semua orang bisa dengan mudah “berkompetisi”, tapi tak semuanya dianugerahi kebijaksanaan dan kedewasaan hati untuk “berdedikasi”.

Dedikasi atau pengorbanan secara ikhlas, merupakan kedewasaan psikologis. Bukan kedewasaan biologis. Sehingga, ia hanya bisa dijalankan oleh mereka yang memiliki kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Sebab, IQ saja tidak akan cukup untuk berdedikasi.

Dan pada akhirnya: baik itu kecerdasan EQ dan SQ, sikap Nriman Syukur dan Sabar, atau bahkan Dedikasi; semua berhenti pada satu muara yang sama: yakni sikap ikhlas dalam dimensi yang maha luas. Semacam ikhlas yang konon tanpa batas.

 

Ahmad Wahyu Rizki Awan 

Leave a Comment

error: Content is protected !!
× Ada yang bisa dibantu?