Keceriaan Idul Adha dan kegiatan nyate bareng mengandung pelajaran tentang pengorbanan dan keikhlasan.
Memperingati Idul Adha 1443 (10/7), Keluarga besar Markaz Ridwan Romly Al Maliki tak hanya membagikan daging pada masyarakat sekitar lingkungan pesantren. Tapi juga nyate bareng di Markaz.
Kegiatan yang dimulai sejak pagi hari hingga adzan ashar sayup-sayup berkumandang itu, cukup menyenangkan. Sebab, hampir semua anggota keluarga Markaz, bisa hadir.
Kegiatan nyate bareng, menjadi sejenis tradisi positif yang ada di Markaz Ridwan Romly Al Maliki. Setidaknya, hampir tiap tahun sekali, kami semua rutin berkumpul untuk masak bersama dan bersilaturahmi.
Yang menyenangkan dari tradisi nyate bareng adalah kebersamaannya; etet-etet daging bersama, menyiapkan perkakas bersama, dan menikmati lapar bersama. Urusan rasa nomor 15. Nomor 1 lapar dulu. Sebab, masakan terlezat adalah rasa lapar.
Hakikat Nyate Bareng
Nyate atau mbakar sate bersama, sesungguhnya punya makna filosofis yang mendalam. Mau dianalisis dari sudut kegiatan, atau objek sate itu sendiri, semua tak lepas dari unsur kedalaman makna filosofis.
Kalau mau menganalisis secara detail dan mendalam, sesungguhnya ada tiga unsur utama pembentuk kegiatan nyate bareng. Pertama: kebersamaan, kedua: proses masak, dan ketiga: sate itu sendiri.
Kebersamaan
Nyate bareng tentu dilakukan bersama-sama. Tak mungkin hanya berdua, apalagi sendirian. Kebersamaan inilah yang menjadi simpul utama kegiatan nyate bareng. Tanpa kebersamaan, nyate bareng hanya sebuah ilusi tanpa benar-benar pernah terjadi.
Kegiatan nyate yang dilakukan bersama-sama, juga melampaui kebutuhan personal. Ia hadir sebagai kebutuhan komunal. Sebagai bukti bahwa senyaman apapun hidup sendiri, lebih tenang jika ada yang menemani. Sebab manusia adalah makhluk sosial.
Proses Masak
Yang tak bisa dipisah dari kegiatan nyate bareng adalah proses masak bersama. Ini penting untuk diketahui. Sebab, saat kita beli sate di penjual sate, meski antrenya bareng-bareng, namanya bukan nyate bareng. Tapi antre bareng.
Nyate bareng tak hanya ritual makan bersama-sama. Tapi juga masak bersama. Dari proses masak inilah, kita menemui rasa lelah dan rasa lapar bebarengan. Rasa lelah dan lapar inilah, inti paling utama dalam kegiatan masak bareng.
Tanpa hadirnya rasa lelah dan rasa lapar, seenak apapun masakan, tak akan terasa nikmat. Sebab, secara psikologis, kenikmatan hadir atas respon lelah dan rasa lapar. Ia hadir sebagai wujud kelegaan. Wujud hasil perjuangan.
Filosofi Sate
Disadari atau tidak, sate adalah objek yang mengajarkan kita hakikat keikhlasan. Ia dinanti-nanti, diperbincangkan, dimakan, lalu dijadikan kotoran untuk kemudian dilupakan begitu saja. Meski ia dilupakan, toh sate tak pernah marah dan protes.
Sate mengorbankan dirinya untuk menjadi materi penting dalam konsep metabolisme tubuh manusia. Ia mengenyangkan perut, lalu menyulap dirinya menjadi kotoran, agar tubuh si pemakan sate tetap sehat.
Coba bayangkan, andai sate yang kita makan protes dan tak mau keluar dari tubuh, tentu sistem metabolisme kita terganggu. Tapi sate baik hati. Ia mau keluar dari dalam tubuh, sebagai kotoran. Demi agar kita tetap sehat.
Begitulah, kegiatan nyate bareng yang dilaksanakan keluarga besar Markaz Ridwan Romly Al Maliki, bukan hanya kegiatan masak dan makan-makan belaka, tapi ada pelajaran penting tentang pengorbanan dan keikhlasan di dalamnya.